Cerita
pendek atau cerpen merupakan karya sastra berbentuk prosa. Bentuk prosa yang
lain adalah novel atau roman. Sesuai dengan namanya cerpen merupakan cerita
dalam bentuk pendek. Kisah dalam cerpen merupakan kisah tunggal. Kalau diukur
dari panjang pendeknya, biasanya cerpen akan selesai dalam sekali duduk.
Kamu
pernah membaca cerpen bukan? Pernahkah kamu membaca cerpen yang sangat menarik
sehingga kamu sangat ingin menceritakan isinya kepada orang lain? Apa yang
harus kamu lakukan agar kamu dapat menceritakan isi cerpen itu dengan baik? Hal
apa saja yang harus kamu perhatikan agar dapat menceritakan kembali dengan
baik? Ikuti pembelajaran berikut ini agar kamu dapat menceritakan kembali isi
cerpen dengan baik secara lisan.
Bacalah
Cerpen berikut
Konvensi
Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun yang semula
paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis
terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, kini —sejak seorang
sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah— martabatku meningkat. Aku
kini dikenal sebagai “orang pintar” dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi
dukun lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang
dari mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang.
Tujuan para pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari
mencarikan jodoh, “memagari” sawah, mengatasi kerewelan istri,hingga
menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan
tujuan agar jadi.
Tuhan kalau mau memberi rezeki hamba-Nya memang
banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah pantas disebut
rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuberikan pembantuku, kini ke mana-mana aku naik
mobil Kijang. Pergaulanku pun semakin luas.
Nah, di musim pemilihan kepala daerah atau
pilkada saat ini, tentu saja aku ikut sibuk. Dari daerahku sendiri tidak kurang
dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para pendukung
atau tim sukses mereka juga datang untuk memperkuat. Mereka umumnya minta restu
dan dukungan. Sebetulnya bosan juga mendengarkan bicara mereka yang hampir sama
satu dengan yang lain. Semuanya pura-pura prihatin dengan kondisi daerah dan
rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon lain. Padahal,
rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal kepingin. Beberapa di
antara mereka bahkan bahasa Indonesianya saja masih baikan aku. Tapi ada juga
timbal-baliknya. Saat pulang, mereka tidak lupa meninggalkan amplop yang isinya
lumayan.
***
Pagi itu dia datang ke rumah sendirian. Tanpa ajudan. Padahal, kata
orang-orang, ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan atau stafnya. Pakaian
safari —kata orang-orang, sejak pensiun dari dinas militer, dia tidak pernah
memakai pakaian selain stelan safari— yang dikenakannya tidak mampu
menampil-besarkan tubuhnya yang kecil. Demikian pula kulitnya yang hitam kasar,
tak dapat disembunyikan oleh warna bajunya yang cerah lembut. Bersemangat bila
berbicara dan kelihatan malas bila mendengarkan orang lain. Mungkin karena aku
justru termasuk orang yang agak malas bicara dan suka mendengar, maka dia
tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang butut.
Dia cerita bahwa sebentar lagi masa jabatannya
sebagai bupati akan habis. Tapi dia didorong-dorong —dia tidak menyebutkan
siapa-siapa yang mendorongdorongnya—untuk maju mencalonkan lagi dalam pilkada
mendatang.
Sebetulnya dia merasa berat, tapi dia tidak mau mengecewakan mereka yang
mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang terbelakang ini.
“Nawaitu saya cuma ingin melanjutkan pembangunan
daerah ini hingga menjadi kabupaten yang makmur dan berwibawa,” katanya
berapi-api. “Saya sedih melihat kawan-kawan di pedesaan, meski saya sudah
berbuat banyak selama ini, masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Perjuangan saya demi rakyat daerah ini khususnya, belum
selesai.”
“Saya sudah menyusun rencana secara bertahap yang
saya perkirakan dalam masa lima tahun ke depan, akan paripurna pengentasan
kemiskinan di daerah ini. Saya tahu, untuk itu hambatannya tidak sedikit.” Dia
menyedot Dji Sam Soe-nya dalam-dalam dan melanjutkan dengan suara yang sengaja
dilirihkan. “Njenengan tahu, orang-orang yang selama ini ada di sekeliling
saya, yang resminya merupakan pembantu-pembantu saya, justru malah hanya
mengganggu. Sering menjegal saya. Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri
dengan mengatasnamakan saya. Lha akhirnya saya kan yang ketiban awu anget,
terkena akibatnya. Sekarang ini beredar isu katanya bupati menyelewengkan dana
ini-itu; bupati menyunati bantuan-bantuan untuk masyarakat; bupati membangun
rumah seharga sekian miliar di kampung asalnya; dan isu-isu negatif lain. Ini
semua sumbernya ya mereka itu.”
“Namun itu semua tidak menyurutkan tekad saya
untuk tetap maju demi rakyat daerah ini yang sangat saya cintai. Saya mohon
restu dan dukungan Panjenengan. Saya berjanji dalam diri saya, kalau nanti saya
terpilih lagi, akan saya sapu bersih sampah-sampah yang tak tahu diri itu dari
lingkungan saya.”
Dia menyebut beberapa nama yang selama ini memang
aku kenal sebagai pembantu-pembantu dekatnya. Aku hanya mengangguk-angguk dan
sesekali memperlihatkan ekspresi heran atau kagum. Sikap yang ternyata
membuatnya semakin bersemangat.
“Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?” tanyaku
untuk pantas-pantas saat dia sedang menghirup tehnya.
Buru-buru dia letakkan gelas tehnya dan berkata,
“Alhamdulillah, saya sudah melakukan pendekatan kepada Pak Kiai Sahil. Bahkan
beliau mengikhlaskan putranya, Gus Maghrur, untuk mendampingi saya sebagai
cawabup.”
Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat
berpengaruh di daerah kami. Partai terbesar di sini tak bakalan mengambil
keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh
cerdik orang ini, pikirku.
“Kiai Sahil sudah memanggil pimpinan partai Anu
dan dipertemukan dengan saya. Dan tanpa banyak perdebatan, disepakati saya
sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya sebagai cawabup.
Mudahmudahan bermanfaat bagi masyarakat yang sudah lama mendambakan pemimpin
yang kuat ini dan mampu mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih layak.”
***
Sesuai pembicaraan di telepon sebelumnya, malam itu sekda datang bersama
istrinya. Sementara istrinya ngobrol dengan istriku, dia langsung menyampaikan
maksud tujuannya.
“Langsung saja, Mbah; maksud kedatangan kami selain bersilaturahmi dan menengok
kesehatan Simbah, kami ingin mohon restu. Terus terang kami kesulitan menolak
kawan-kawan yang mendorong kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula
memang selama periode kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu
sendiri, tak ada kemajuan yang berarti. Saya yang selama ini mendampinginya
setiap saat merasa prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup
mata dan telinga bila melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya
itu.”
“Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah
mengingatkan atau menegurnya bila melihat dia berbuat yang tidak semestinya?”
tanyaku.
“Ya tidak sekali dua kali,” sahutnya, “tapi tak pernah didengarkan.
Mungkin dia pikir saya kan hanya bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia
selalu mengatakan bahwa dialah bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan
mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan. Ya
akhirnya saya diamkan saja. Pikir saya, dosa-dosanya sendiri.”
“Tapi akibatnya kan bisa juga mengenai orang banyak?!”
“Lha, itulah, Mbah, yang membuat saya prihatin dan terus mengganggu nurani
saya. Tapi ke depan hal ini tidak boleh berulang. Saya dan kawankawan sudah
bertekad akan menghentikannya. Bila nanti saya terpilih, saya tidak akan
biarkan praktek-praktek tidak benar seperti kemarin-kemarin itu terjadi. Saya
akan memulai tradisi baru dalam pemerintahan daerah ini. Tradisi yang
mengedepankan kejujuran dan tranparansi. Pemerintahan yang bersih. Kasihan
rakyat yang sekian lamanya tidak mendapatkan haknya, karena kerakusan
pemimpinnya. Saya tahu persis data-data potensi daerah ini yang sebenarnya
tidak kalah dari daerah-daerah lain. Seandainya dikelola dengan baik, saya
yakin daerah ini akan menjadi maju dan tidak mustahil bahkan paling maju di
wilayah propinsi.”
“Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?” Aku
mengulang pertanyaanku kepada bosnya tempo hari.
“Ya, mayoritas pimpinan partai saya, Partai Polan, dan penguruspengurus anak
cabangnya sudah setuju mencalonkan saya sebagai bupati dan Drs Rozak dari
Partai Anu sebagai cawabupnya. Jadi nanti koalisi antara Partai Polan dan
Partai Anu. Menurut hitungan di atas kertas suara kedua partai besar ini sudah
lebih dari cukup.”
“Lho, aku dengar Partai Anu sudah mencalonkan bos Sampeyan berpasangan dengan
Gus Maghrur?” selaku.
“Ah, itu belum resmi, Mbah. Beberapa tokoh dari Partai Anu yang ketemu saya,
justru menyatakan tidak setuju dengan pasangan itu. Pertama, karena mereka
sudah mengenal betul bagaimana pribadi bos saya dan meragukan kemampuan Gus
Maghfur. Itu kan akal-akalannya bos saya saja. Gus Maghfur hanya dimanfaatkan
untuk meraup suara mereka yang fanatik kepada Kiai Sahil.”
***
Konferensi Cabang Partai Anu yang digelar dalam suasana demam pilkada, meski
sempat memanas, namun berakhir dengan mulus. Drs Rozak terpilih sebagai ketua
baru dengan perolehan suara cukup meyakinkan, mengalahkan saingannya, Gus
Maghrur.
Drs Rozak bergerak cepat. Setelah kelengkapan
pengurus tersusun, langsung mengundang rapat pengurus lengkap. Di samping acara
perkenalan, rapat pertama itu juga memutuskan: DPC akan mengadakan konvensi
untuk penjaringan calon-calon bupati dan wakil bupati. Drs Rozak menyatakan
dalam konferensi pers bahwa selama ini partainya belum secara resmi menetapkan
calon dan inilah saatnya secara resmi partai pemenang pemilu kemarin ini
membuka pendaftaran calon dari mana pun. Bisa dari tokoh independen, bisa dari
partai lain. Ditambahkan oleh ketua baru ini, bahwa dia sudah berkonsultasi
dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai dan diizinkan melakukan konvensi tidak
dengan sistem paket. Artinya, masing-masing mendaftar sebagai calon bupati atau
wakil bupati dan baru nantinya ditetapkan siapa berpasangan dengan siapa.
Tak lama setelah diumumkan, banyak tokoh yang
mendaftar, baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati. Termasuk di
antara mereka yang mendaftar sebagai cabup: bupati lama dan sekdanya. Menurut
keterangan panitia konvensi, agar sesuai dengan prinsip demokrasi, calon-calon
akan digodok, dipilih, dan ditetapkan melalui pertemuan antara pengurus cabang
lengkap, pengurus-pengurus anak cabang, dan organisasi-organisasi underbow
partai; dengan ketentuan partai hanya akan mencalonkan satu cabup dan satu
cawabup.
Semua orang menunggu-nunggu hasil konvensi partai
terbesar di kabupaten itu. Maklum Partai Anu merupakan partai yang diyakini
menentukan. Apalagi sebelumnya sudah ramai dan simpang siur berita mengenai
calon-calon dari partai ini. Orang-orang tak ingin terus menduga-duga apakah
benar partai yang katanya menyesal dulu mendukung bupati yang sekarang akan
mencalonkannya lagi berpasangan dengan Gus Maghrur, putra Kiai Sahil sesepuh
partai. Dan apakah sekda yang konon dicalonkan oleh Partai Polan benar akan
berpasangan dengan Drs Rozak yang kini menjadi ketua Partai Anu.
Singkat cerita, konvensi berjalan dengan mulus.
Sesuai kesepakatan, calon bupati dipilih sendiri dan calon wakil bupati dipilih
sendiri pula. Kemudian yang terpilih sebagai cabup dipasangkan dengan yang
terpilih sebagai cawabup. Hasilnya sungguh mengejutkan banyak orang, terutama
bupati lama dan sekdanya. Ternyata yang terpilih dan disepakati menjadi
calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cabup dan Ir Sarjono, ketua Partai
Polan sebagai cawabupnya.
***
“Itulah politik,” kataku kepada istriku yang tampak bingung setelah mendengar
ceritaku. “Untung aku tidak tergiur ketika ada yang menawariku —dan kamu ikut
mendorong-dorongku— untuk ikutan maju sebagai cawabup!”